Kamis, 31 Mei 2012

Sejarah Orde Baru

Masa Pemerintahan Orde Baru
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno.Salah satu penyebab yang melatarbelakangi runtuhnya orde lama dan lahirnya orde baru adalah keadaan keamanan dalam negeri yang tidak kondusif pada masa Orde Lama. Terlebih lagi karena adanya peristiwa pemberontakan G30S/PKI. Hal ini menyebabkan presiden Soekarno memberikan mandat kepada Soeharto untuk melaksanakan kegiatan pengamanan diIndonesia melalui surat perintah sebelas maret atau Supersemar. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama. Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut,ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya danmiskin juga semakin melebar.
        Kekuasan soekarno beralih ke Soeharto ditandai dengan keluarnya Surat Perintah SebelasMaret (SUPERSEMAR) 1966. Setelah dikeluarkan Supersemar maka mulailah dilakukan penataan pada kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Penataan dilakukan di dalam lingkungan lembaga tertinggi negara dan pemerintahan. Dikeluarkannya Supersemar berdampak semakin besarnya kepercayaan rakya kepada pemerintah karena Soeharto berhasil memulihkan keamanan dan membubarkan PKI. Padatanggal 23 Februari 1967, MPRS menyelenggarakan sidang istimewa untuk mengukuhkan pengunduran diri Presiden Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat Presiden RI. Dengan Tap MPRS No. XXXIII/1967 MPRS mencabut kekuasaan pemerintahan negara dan menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Sukarno. 12 Maret 1967 Jendral Soeharto dilantik sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Lama dan dimulainya kekuasaan Orde Baru.
Pokok-pokok  masa Orde Baru :
a.       Pemerintahan yang diktator tetapi aman dan damai, Tindak korupsi merajalela
b.      Tidak ada kebebasan berpendapat
c.        Pancasila terkesan menjadi ideologi tertutup
d.       Pertumbuhan ekonomi yang berkembang pesat
e.        Ikut sertanya militer dalam pemerintahan
f.        Adanya kesenjangan sosial yang mencolok antara orang kaya dan orang miskin
Kebijakan pada masa Orde Baru :
a.       Indonesia didaftarkan lagi menjadi anggota PBB pada bulan september 1966
b.      Adanya perbaikan ekonomi dan pembangunan
c.       Pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran
d.      Dilaksanakannya kebijakan transmigrasi dan keluarga berencana
e.       Adanya gerakan memerangi buta huruf 
f.       Dilakukannya swasembada pangan
g.      Munculnya gerakan Wajib Belajar dan gerakan Nasional Orang Tua Asuh

 Koreksi Orba Terhadap Orla
Sistem ketatanegaraan pada masa Orde Baru  dan Orde Lama secara formal adalah sama-sama berdasar Pancasila dan UUD 1945. Format demokrasi pada masa Orde Lama disebut Demokrasi Terpimpin, sedangkan masa Orde Baru disebut Demokrasi Pancasila. Kedua orde tersebut sama-sama cenderung otoriter. Perbedaannya pada masa orde lama keotoriterannya terpusat pada figur Presiden, sedang pada masa Orde Baru lebih dikembangkan dengan cara yang “konstitusional”. Pada masa Orde Lama sistem tersebut diarahkan demi kepentingan “revolusi”, Sedangkan Orde Baru demi “pembangunan”.
Rezim Orde Baru dibangun dengan dukungan penuh dari kelompok-kelompok yang ingin terbebas dari kekacauan masa lalu, baik kekacauan politik, ekonomi, maupun budaya pada masa Orde Lama dengan Soekarno sebagai presiden. Gerakan pertama yang dilakukan pemerintahan Orde Baru untuk menyusun program-program dalam berbagai bidang yang akan diterapkan dan dijalankan pemerintahan ini adalah seminar Angkatan Darat kedua di Bandung pada 25 Agustus 1966. Seminar itu diselenggarakan oleh Letjend Soewarto, komandan Seskoad (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat) untuk menyiapkan program bagi Angkatan Darat di masa Orde Baru dan membicarakan tiga masalah besar negeri ini: politik, ekonomi dan militer.
Pada masa awal Orde Baru, trauma terhadap kondisi politik, ekonomi dan sosial masa Orde Lama, menuntut penggagas dan pendukung Orde Baru untuk pertama-tama menciptakan kestabilan politik, ekonomi dan sosial. Akan tetapi hal ini terus berlanjut hingga berdampak pada pemaksaan kepada setiap institusi yang tak mau bergabung dengan langgam politik yang diinginkan rezim ditindas dan disingkirkan, atas nama komitmen pada stabilisasi ekonomi dan politik.
Perlahan-lahan Orde Baru mulai menyusun kekuatan-kekuatan pendukung untuk mempertahankan kekuasaannya. Berbagai upaya dilakukan untuk menyeragamkan setiap bidang ke dalam satu bentuk. Penyederhanaan partai pada tahun 1975, penyatuan organisasi kepemudaan ke dalam KNPI, organisasi jurnalis ke dalam PWI, organisasi keagamaan ke dalam MUI dan sebagainya. Dan militer adalah penjaga keamanan untuk setiap aksi atau protes terhadap pemerintahan Orde Baru.
Berbagai upaya dilakukan Orde Baru untuk menyingkirkan sisa-sisa kekuatan politik Orde Lama. Tujuan paling dasar dari pembangunan Orde Baru adalah mengantisipasi bangkitnya pengaruh Soekarnois dan PKI dalam pemerintahan. Para tawanan Orde Baru yang diduga sebagai anggota PKI ataupun orang-orang yang punya kaitan dengan PKI dikirim ke penjara atau ke pulau-pulau pembuangan tempat khusus tawanan Orde Baru.
Untuk menyingkirkan sisa-sisa pengaruh Soekarnois dan unsur PKI dalam pemerintahan, maka usaha yang dilakukan Orde Baru adalah mengamankan agenda Politik Pemilu yang direncanakan pada tahun 1968 dari partai-partai lama yang diduga masih tersimpan sisa-sisa pengaruh Soekarno. Dari sini muncullah konsep perombakan struktur politik oleh Ali Moertopo yang dikenal dengan istilah “Strategi Politik Nasional”. Selain upaya untuk menyederhanakan partai-partai dan menyingkirkan pengaruh partai-partai lama yang masih memiliki unsur Soekarnois, Orde Baru juga berusaha untuk meminggirkan peranan mahasiswa. Terkesan paradoks, karena mahasiswalah yang ikut bersama Angkatan Darat menghadapi Orde Lama.
 Pengertian Demokrasi Pancasila
Istilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang tepatnya diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara. Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini disebabkan karena demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi yang dianut di Indonesia, yaitu demokrasi berdasarkan Pancasila. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang berdasarkan kekeluargaan dan gotong-royong yang ditujukan kepada kesejahteraan rakyat, yang mengandung unsur-unsur berkesadaran religius, berdasarkan kebenaran, kecintaan dan budi pekerti luhur, berkepribadian Indonesia dan berkesinambungan. Pengertian lain dari Demokrasi Pancasila adalah sistem pengorganisasian negara dilakukan oleh rakyat sendiri atau dengan persetujuan rakyat.
 Ciri-ciri dari Demokrasi Pancasila adalah:
1. Kedaulatan ada di tangan rakyat.
2. Selalu berdasarkan kekeluargaan dan gotong-royong.
3. Cara pengambilan keputusan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.
4. Tidak kenal adanya partai pemerintahan dan partai oposisi.
5. Diakui adanya keselarasan antara hak dan kewajiban.
6. Menghargai hak asasi manusia.
7. Tidak menganut sistem monopartai.
8. Pemilu dilaksanakan secara luber.
9. Mengandung sistem mengambang.
10. Tidak kenal adanya diktator mayoritas dan tirani minoritas.
11. Mendahulukan kepentingan rakyat atau kepentingan umum.
Sistem pemerintahan Demokrasi Pancasila adalah :
1. Indonesia adalah negara berdasar hukum.
2. Indonesia menganut sistem konstitusional.
3. MPR sebagai pemegang kekuasaan negara tertinggi.
4. Presiden adalah penyelenggaraan pemerintah tertinggi di bawah MPR.
5. Pengawasan DPR.
6. Kekuasaan Kepala Negara tidak terbatas.
Fungsi dari Demokrasi Pancasila adalah Menjamin adanya keikutsertaan rakyat dalam kehidupan bernegara. Menjamin tetap tegaknya negara RI. Menjamin tetap tegaknya negara kesatuan RI yang mempergunakan sistem konstitusional. Menjamin tetap tegaknya hukum yang bersumber pada Pancasila, Menjamin adanya hubungan yang selaras, serasi dan seimbang antara lembaga negara. Dan menjamin adanya pemerintahan yang bertanggung jawab.
 Pelaksanaan Pemilu Pada Masa Orde Baru
Untuk mewujudkan kehidupan rakyat yang demokratis, maka diselenggarakan pemilihan umum. Pemilu pertama pada masa pemerintahan Orde Baru dilaksanakan tahun 1971, dan diikuti oleh sembilan partai politik dan satu Golongan karya. Sembilan partai peserta pemilu tahun 1971 tersebut adalah Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Murba, Nahdlatul Ulama (NU), Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islam (PI Perti), Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Organisasi golongan karya yang dapat ikut serta dalam pemilu adalah Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Sejak pemilu tahun 1971 sampai tahun 1997, kemenangan dalam pemilu selalu diraih oleh Golkar. Hal ini disebabkan Golongan Karya mendapat dukungan dari kaum cendekiawan dan ABRI.
Untuk memperkuat kedudukan Golkar sebagai motor penggerak Orde Baru dan untuk melanggengkan kekuasaan maka pada tahun 1973 diadakan fusi partai-partai politik. Fusi partai dilaksanakan dalam dua tahap berikut.
1. Tanggal 5 Januari 1963 kelompok NU, Parmusi, PSII, dan Perti menggabungkan diri menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
2. Tanggal 10 Januari 1963, kelompok Partai Katolik, Perkindo, PNI, dan IPKI
menggabungkan diri menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

 Kehidupan Politik dan Ekonomi Pada Masa Orde Baru

Kehidupan Politik
Dalam melaksanakan langkah-langkah politiknya, Letjen Soeharto berlandaskan pada Supersemar. Agar dikemudian tidak menimbulkan masalah, maka Supersemar perlu diberi landasan hukum. Oleh karena itu pada tanggal 20 Juni 1966 MPRS mengadakan sidang umum. Berikut ini ketetapan MPRS hasil sidang umum tersebut.
1. Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966, tentang Pengesahan dan Pengukuhan   Supersemar.
2. Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966, tentang Pemilihan Umum yang dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 5 Juli 1968.
3. Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966, tentang penegasan kembali Landasan Kebijaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia yang bebas dan aktif.
4. Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966, tentang Pembentukan Kabinet Ampera.
5. Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966, tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), dan menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Indonesia.
            Dalam sidang ini, MPRS juga menolak pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno yang berjudul “Nawaksara” (sembilan pasal), sebab pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno tidak menyinggung masalah PKI atau peristiwa yang terjadi pada tanggal 30 September 1965. Selanjutnya MPRS melaksanakan Sidang Istimewa tanggal 7 – 12 Maret 1967. Dalam Sidang Istimewa ini MPRS menghasilkan empat Ketetapan penting berikut.
1. Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang pencabutan kekuasaan dari Presiden Soekarno dan mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden sampai dipilihnya presiden oleh MPRS hasil Pemilu.
2. Ketetapan MPRS No. XXXIV/MPRS/1967 tentang peninjauan kembali Ketetapan MPRS No. I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Indonesia sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara.
3. Ketetapan MPRS No. XXXV/MPRS/1967 tentang pencabutan Ketetapan MPRS No. XVII/MPRS/1966 tentang Pemimpin Besar Revolusi.
4. Ketetapan MPRS No. XXXVI/MPRS/1967 tentang pencabutan Ketetapan MPRS No. XXVI/MPRS/1966 tentang pembentukan panitia penelitian ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno.
            Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 maka dibentuk Kabinet Ampera pada tanggal 25 Juli 1966. Pembentukan Kabinet Ampera merupakan upaya mewujudkan Tritura yang ketiga, yaitu perbaikan ekonomi. Tugas pokok Kabinet Ampera disebut Dwi Dharma yaitu menciptakan stabilitas politik dan stabilitas ekonomi. Program kerjanya disebut Catur Karya, yang isinya antara lain:
1. memperbaiki kehidupan rakyat terutama sandang dan pangan,
2. melaksanakan Pemilu,
3. melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasional
4. melanjutkan perjuangan antiimperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.
            Di samping membina stabilitas politik dalam negeri, pemerintah Orde Baru juga mengadakan perubahan-perubahan dalam politik luar negeri. Berikut ini upaya-upaya pembaruan dalam politik luar negeri.
1. Indonesia Kembali Menjadi Anggota PBB
            Pada tanggal 28 September 1966 Indonesia kembali menjadi anggota PBB. Sebelumnya pada masa Demokrasi Terpimpin Indonesia pernah keluar dari PBB sebab Malaysia diterima menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Keaktifan Indonesia dalam PBB ditunjukkan ketika Menteri Luar Negeri Adam Malik terpilih menjadi ketua Majelis Sidang Umum PBB untuk masa sidang tahun 1974.
2. Membekukan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Cina (RRC)
            Sikap politik Indonesia yang membekukan hubungan diplomatik dengan RRC disebabkan pada masa G 30 S/PKI, RRC membantu PKI dalam melaksanakan kudeta tersebut. RRC dianggap terlalu mencampuri urusan dalam negeri Indonesia.
3. Normalisasi hubungan dengan Malaysia
            Pada tanggal 11 Agustus 1966, Indonesia melaksanakan persetujuan normalisasi hubungan dengan Malaysia yang pernah putus sejak tanggal 17 September 1963. Persetujuan normalisasi ini merupakan hasil Persetujuan Bangkok tanggal 29 Mei sampai tanggal 1 Juni 1966.
            Dalam pertemuan tersebut, delegasi Indonesia dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Adam Malik, sementara Malaysia dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri Tun Abdul Razak. Pertemuan tersebut menghasilkan keputusan yang disebut Persetujuan Bangkok (Bangkok Agreement), isinya sebagai berikut.
a. Rakyat Sabah dan Serawak diberi kesempatan untuk menegaskan kembali keputusan yang telah mereka ambil mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.
b. Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatik.
c. Tindakan permusuhan antara kedua belah pihak akan dihentikan.
4. Berperan dalam Pembentukan ASEAN
            Peran aktif Indonesia juga ditunjukkan dengan menjadi salah satu negara pelopor berdirinya ASEAN. Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik bersama menteri luar negeri/perdana menteri Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand menandatangi kesepakatan yang disebut Deklarasi Bangkok pada tanggal 8 Agustus 1967. Deklarasi tersebut menjadi awal berdirinya organisasi ASEAN.

 Dampak Kebijakan Politik Pemerintahan Orde Baru

Dampak Positif Kebijakan Politik Orde Baru

1.Pemerintahan mampu membangun pondasi yang kuat bagi kekuatan lembaga kepresiden yang membuat semakin kuatnya peran Negara dalam masyarakat.

2.Situasi keamanan pada masa Orde Baru relatif stabil dan terjaga dengan baik, karena pemerintah mampu mengatasi semua tindakan dan sikap yang bertentangan dengan Pancasila.

3.Peleburan parpol yang dilakukan pemerintah, telah memberikan kemudahan untuk melakukan pengawasan dan pengendalian parpol.

Dampak Negatif Kebijakan Politik Orde Baru
1. Terbentuknya pemerintahan Orde Baru yang otoriter, dominatif, dan sentralistik.
2. Otoritarianisme merambah segenap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara termasuk kehidupan politik yang sangat merugikan rakyat.

 Kebijakan Ekonomi pada Masa Orde Baru
            
Pada masa Orde Baru, Indonesia melaksanakan pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan. Tujuannya adalah terciptanya masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila. Pelaksanaan pembangunan bertumpu pada Trilogi Pembangunan, yang isinya meliputi hal-hal berikut.
1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya keadilan sosial  bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
            Pembangunan nasional pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya. Berdasarkan Pola Dasar Pembangunan Nasional disusun Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang yang meliputi kurun waktu 25-30 tahun. Pembangunan Jangka Panjang (PJP) 25 tahun pertama dimulai tahun 1969 – 1994. Sasaran utama PJP I adalah terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat dan tercapainya struktur ekonomi yang seimbang antara industri dan pertanian. Selain jangka panjang juga berjangka pendek. Setiap tahap berjangka waktu lima tahun. Tujuan pembangunan dalam setiap pelita adalah pertanian, yaitu meningkatnya penghasilan produsen pertanian sehingga mereka akan terangsang untuk membeli barang kebutuhan sehari-hari yang dihasilkan oleh sektor industri. Sampai tahun 1999, pelita di Indonesia sudah dilaksanakan sebanyak 6 kali.
Dalam membiayai pelaksanaan pembangunan, tentu dibutuhkan dana yang besar. Di samping mengandalkan devisa dari ekspor nonmigas, pemerintah juga mencari bantuan kredit luar negeri. Dalam hal ini, badan keuangan internasional IMF berperan penting. Dengan adanya pembangunan tersebut, perekonomian Indonesia mencapai kemajuan. Meskipun demikian, laju pertumbuhan ekonomi yang cukup besar hanya dinikmati para pengusaha besar yang dekat dengan penguasa. Pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan pemerataan dan landasan ekonomi yang mantap sehingga ketika terjadi krisis ekonomi dunia sekitar tahun 1997, Indonesia tidak mampu bertahan sebab ekonomi Indonesia dibangun dalam fondasi yang rapuh. Bangsa Indonesia mengalami krisis ekonomi dan krisis moneter yang cukup berat. Bantuan IMF ternyata tidak mampu membangkitkan perekonomian nasional. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab runtuhnya pemerintahan Orde Baru tahun 1998.
Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan kembali menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun dalam pelaksanaannya terjadi juga penyelewengan UUD 1945 yang mengakibatkan terlalu besarnya kekuasaan pada Presiden.
Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat "sakral", diantara melalui sejumlah peraturan:
  • Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya
  • Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum.
  • Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983.
Runtuhnya System Ketatanegaraan Pada Masa Orde Baru

 Latar Belakang Krisis Asia dan Tingginya KKN di Tubuh Pemerintahan Negara

Di dalam karnpanye yang berjudul the politcts of post-Suharto Indonesia, Adam Schwarz melihat bahwa selama 32 masa kepemimpinan Orde Baru, Soeharto telah berhasil membawa Indonesia keada kesejateraan. Ia berpandangan bahwa Soeharto telah sukses menata stabilitas politik dan menciptakan kesuksesan pembangunan ekonomi di Indonesia. Akan tetapi, seiring dengan badai krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997/1998, tuntutan terhadap turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan makin menguat di masyarakat. Setelah berkuasa selama 32 tahun, pemerintah Orde Baru akhirnya jatuh pada tanggal 21 Mei 1998.
Pemicu dari kejatuhan pemerintahan Orde Baru ini antara lainnya adalah karena tingginya tingkat KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) di dalam pemerintahan. Selain itu, membengkaknya angka utang luar negeri juga menjadi salah satu pemicu dari jatuhnya Orde Baru. Transisi pemerintahan Indonesia di masa ini dilingkupi oleh berbagai gejolak. Berbagai aksi dan demontrasi mahasiswa marak ditemui dijalanan kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung dan Yogyakarta. Aksi turun ke jalan ini telah dimulai semenjak bulan Februari 1988. Tingginya gejolak keamananpun turut mewarnai periode ini. Berbagai tindakan anarkis seperti penjarahan dan pembakaran fasilitas umum pun turut menorehkan sejarah kelam Indonesia di tahun 1998. Krisis legitimasi terhadap pemerintahan Orde Baru pun mulai menguak. Hal ini seiring dengan membumbung tingginya harga barang-barang akibat merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Penyebab kejatuhan pemerintahan Orde Baru dapat dilihat dari 2 sudut pandang, yaitu sebagai implikasi dari krisis moneter Asia di tahun 1997 dan tingginya tingkat KKn di dalam tubuh pemerintaan. Dari sudut pandang krisis moneter Asia 1997 hingga Maret terus menukik tajam dari angka Rp. 2.600,- tingga Rp. 16.000,- perdolar Amerika Serikat. Penyebabnya adalah tingginya angka hutang luar negeri Indonesia. Dalam sebuah rapat di Bina Graha Jakarta, Presiden Soeharto bersama Radius Prasiro menyatakan bahwa utang luar negeri Indonesia. Dalam sebuah rapat di Bina Graha Jakarta, Presiden Soeharto bermasa Radius Prawiro menyatakan bahwa utang luar negeri Indonesia mencapai 63.462 miliar dolar Amerika Serikat. Angka ini baru yang dibebankan bagi negara. Jumlah utang luar negeri sektor swasta Indonesia mencapai angka 73.962 miliar dolar Amerika Serikat.
Efek domino dari kondisi kejatuhan ekonomi ini langsung berdampak pada kehidupan masyarakat. Tingginya harga barang dan inflasi pun tak terelakkan. Rakyat menjadi cukup sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Bahkan, rakyat harys mengantri untuk mendapatkan sembako dengan harga murah karena harga standar yang dijual di pasar sudah tak terjangkau lagi oleh daya beli masyarakat. Melihat gelagat kehidupan sosial seperti ini, banyak pihak yang menginginkan perubahan. Mahasiswa merupakan salah satu kelompok sosial masyarakat yang paling vokal dalam menyuarakan perbaikan struktur pemerintahan pada saat itu. Mahasiswa pun mulai menyusun strategi untuk memberikan feedback terhadap kelemahan sistem pemerintahan. Berbagai aksi demontrasi pun digelar. Mahasiswa kemudian menyusun agenda reformasi yang ditujukan kepada pemerintah Orde Baru. Isi dari agenda reformasi ini antara lainnya terfokus pada hal-hal berikut.
1.    Mengadili Soeharto dan kroni-kroninya.
2.     Melakukan amandemen terhadap UUD 1945.
3.     Menghapus Dwi fungsi ABRI di dalam struktur pemerintahan negara.
4.     Penegakkan supremensi hukum di Indonesia.
5.      Mewujudkan pemerintahan yang bersih dari unsur-unsur Korupsi, Kolusi & Nepotisme (KKN).
Menurunnya pamor pemerintahan Orde Baru telah dimulai semenjak penandatanganan perjanjian pemberian dana bantuan IMF pada Medio 1997. Perjanjian penurunan dana bantuan IMF kepada Indonesia yang pertama setelah terjadinya krisis moneter Asia terjadi di bulan Oktober 1997. Di dalam perjanjian yang pertama ini, IMF menurunkan dana bantuan sebesar 43 milyar dolar Amerika Serikat kepada Indonesia. Pemberian dana bantuan ini sebenarnya mengandung 2 kelemahan utama bagi Indonesia, dan hal ini disadari betul oleh rakyat pada saat itu. Kelemahan pertama terletak pada posisi dana bantuan itu sebenarnya. Pemberian dana bantuan belaka. Yang dimaksudkan dana bantuan disini adalah utang luar negeri yang harys dibayarkan kembali oleh Indonesia beserta dengan bunganya, meskipun dengan persentase yang rendah. Masyarakat beserta mahasiswa melihat bahwa hal ini akan berdampak pada makin menumpuknya utang luar negeri Indonesia.
Kelemahan kedua adalah penerapan Structural Adjustment Program Program (Program Penyesuaian Struktural) dari IMF yang menyertai penurunan dana bantuan tersebut. Yang dimaksudkan dengan Structural Adjustment Program adalah persyaratan IMF bagai Indonesia dalam 4 bidang utama. Pertama, pengetatan kebijakan fiskal; kedua, penghapusan subsidi; ketiga, menutup 16 bank di Indonesia; dan keempat, memerintahkan bank sentral untuk menaikkan tingkat suku bunga. Dampaknya tidak terwujud dalam perbaikan ekonomi nasional yang signifikan. Pada awal tahun 1998, jumlah penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan meningkat dari angka 20 juta orang ke angka 80 juta orang. Jutaan orang juga kehilangan pekerjaan penutupan bank-bank nasional dan sektor usaha karena tidak mendapatkan suntikan dana dari pemerintah. Krisis ekonomipun makin bertambah parah.
Perjanjian kedua dengan IMF pun digelar kembali pada 15 Januari 1998. Syarat yang ditekankan IMF bagi Indonesia adalah pemotongan seluruh subsidi rakyat, dan menghapus praktik monopoli. Selain itu, IMF juga mensyaratkan penghapusan segala bentuk subsidi usaha nasional yang diberikan oleh pemerintah. Dalam hal ini yang mendapatkan sorotan paling tajam adalah industri IPTN yang digelar oleh V.J. Habibie, dan industri mobil nasional Timor yang dipegang oleh anak kandung Presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra. Di satu sisi, pemotongan subsidi pemerintah terhadap sektor industri tersebut akan membawa implikasi yang baik bagi alokasi dana negara. Akan tetapi, di lain sisi, subsidi untuk makanan dan biaya sosial masyarakat juga harus dipotong. Persyaratan IMF ini kemudian membawa Indonesia
kepada keterpurukan ekonomi yang lebih dalam.

  Kronologi Pengunduran Diri Soeharto dari Kursi Kepresidenan
Menanggapi kondisi perekonomian yang semakin parah, mahasiswa bersama elemen-elemen masyarakat pun mulai bergerak untuk turun kejalan berdemonstrasi menuntut penurunan harga. Berbagai aksi-aksi yang digelar mahasiswa beserta elemen masyarakat mulai bermunculan semenjak bulan Februari 1998, dan mencapai puncaknya bulan Mei 1998. Pada tanggal 12 Mei 1998, berbagai elemen mahasiswa menggelar aksi demontrasi damai menuntut penurunan harga di Jakarta. Di Universitas Trisakti, aksi demontrasi damai pun terjadi. Situasi aksi damai pada hari itu berjalan dengan sangat tertib. Bahkan beberapa mahasiswa putri sempat memberikan bunga tanda simpati kepada para petugas yang sedang bertugas mengamankan aksi demonstrasi damai tersebut. Akan tetapi, situasi kemudian memanas sewaktu hari menjelang sore. Mahasiswa yang ingin melakukan long march menuju DPR/MPR tidak diperbolehkan berjalan lebih jauh oleh para petugas. Mereka diberhentikan tidak jauh dari pintu kampus Trisakti. Didalam insiden bentrokan ini, empat mahasiswa tewas dan puluhan mengalami luka serius. Keempat mahasiswa tersebut adalah Elang Mulya Lesmana, Hafidhin Royan, Hendriawan Sie, dan Heri Hartanto. Mereka kemudian diberi gelar sebagai pahlawan reformasi.
Aksi penembakan terhadap empat mahasiswa inii mengundang berbagai reaksi keras dari masyarakat dan elemen mahasiswa di bebagai daerah. Sebelumnya, seorang mahasiswa dari Yogyakarta yang bernama Moses Gatotkaca juga tewas dalam sebuah bentrokan dengan aparat keamanan sewaktu melakukan aksi menuntut mundurnya Presiden Soeharto. Moses Gatotkaca meninggal pada 8 Mei 1998. Pada tanggal 13 dan 14 Mei 1998, kerusuhan massal yang cenderung mengarah ke tindakan anarkis berupa penjarahan dan penganiayaan menjalar luas di seluruh ibukota. Toko-toko dibakar, barang-barang yang berada di dalamnya dijarah oleh para oknum pelaku kerusuhan, bahkan terjadi banyak kasus penganiayaan. Korban pun banyak berjatuhan, yang jumlahnya mencapai ratusan. Sebagian besar karena terperangkap di dalam toko-toko yang dibakar paksa oleh para oknum-oknum pelaku kerusuhan. Tragedi kerusuhan 13 dan 14 Mei 1998 ini merupakan titik kulminasi depresi masyarakat akibat krisis ekonomi Indonesia. Krisis sosial dan masyarakatpun mulai bermunculan seiring dengan adanya gesekan sosial tersebut.
Suasana Jakarta yang sangat tegang pasca tragedi kerusuhan 13 dan 14 Mei 1998 ini terus berlangsung hingga digelarnya aksi demonstrasi besar-besaran oleh para mahasiswa pada tanggal 19 Mei 1998. Secara berbondong-bondong para mahasiswa yang berasal dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta dan kota-kota lainnya melakukan long march menuju gedung MPR/DPR. Tujuannya adalah untuk menuntut turunnya Presiden Soeharto, menggelar sidang istimewa MPR dan pelaksanaan reformasi aksi serupa juga terjadi di Yogyakarta. Dikota ini, mahasiswa bersama elemen-elemen masyarakat Yogyakarta berkumpul di alun-alun kota. Mereka ingin mendengar maklumat dari Sri Sultan Hamengkubuwono dan Sri Paku Alam mengenai kondisi negara yang sedang tegang.
Pada tanggal yang sama, yaitu 19 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundang tokoh-tokoh masyarakat untuk datang ke Istana Negara. Agendanya adalah membahas segala kemungkinan penanganan krisis negara. Tokoh-tokoh yang diundang berjumlah 9 orang. Mereka adalah Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, Emha Ainun Nadjib, Ali Yafie, Malik Fadjar, Cholil Baidlowi, Sutrisno Muhdam, Ma’aruf Amin dan Ahmad Bagdja. Selain itu, hadir pula Yuhsril Ihza Mahendra, Sekretaris Militer Presiden Mayjen Jasril Jakub dan ajudan Presiden. Didalam pertemuan yang berlangsung hingga 2,5 jam ini, tercapai kesepakatan untuk membentuk suatu badan yang dinamakan Komite Reformasi. Komite ini sebelumnya bernama Dewan Reformasi. Namun, kemudian di ubah karena hampir mirip dengan Dewan Revolusi dan Dewan Jenderal seaktu terjadi peristiwa tragedi pemberontakan G-30-S/PKI tahun 1965. Di dalam pertemuan ini, juga disepakati bahwa Presiden Soeharto akan melakukan reshuffle Kabinet Pembangunan VI, dan mengubah nama susunan kabinet Reformasi. Sedangkan, berdasarkan pidatonya beliau sesaat setelah pertemuan ini digelar, Presiden Soeharto juga menyatakan tugas-tugas yang diemban oleh Komite Reformasi menurut beliau dalam pidato ini adalah untuk menyelesaikan UU Kepartaian, UU Pemilu, UU Susunan dan Kedudukan MPR/DPR serta DPRD, UU Anto-Monopoli, UU Anti-Korupsi dan lainnya.
Masuk ketanggal 20 Mei 1998, suasana di gedung MPR/DPR telah penuh sesak oleh mahasiswa. Berbagai elemen mahasiswa yang berasal dari perguruan-perguruan tinggi di Indonesia berkumpul bersama.Jumlahnya mencapai 50.000 orang. Di lain sisi, berbagai tokoh masyarakat seperti Amien Rain dan Emil Salim menyatakan kekecewaandengan pidato Presiden Soeharto tersebut.penyebabnya adalah bahwa sebenarnya presiden Soeharto meminta pemberian waktu enam bulan untuk mengelar pemilihan Umum secara kontitusional. Akan tetapi, hal tersebut tidak dinyatakan di dalam pidato beliau selepas pertemuan itu selesai. Sedangkan di lain sisi, Soeharto dari kursi kepresidenan pada saat itu. Emil Salim, melalui Gema Madani menyerukan agar Presiden Soeharto melaksanakan niatnya untuk lengser keprabon (turun dari tahta kekuasaan) pada saat itu juga (20 Mei 1998). Amin Rais juga berada dalam posisi yang sama. Ia menginginkan reformasi dilaksanakan secepatnya.
Sementara di lain sisi, isu untuk melakukan aksi memperingati Hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei 1998 di Lapangan Monas pun sudah menyebar. Dalam kondisi negara yang sangat tegang pada saat itu, aksi ini dimungkinkan akan menimbulkan bentrokan yang besar dan mengakibatkan jatuhnya korban, karena pada saat yang bersamaan, pengamanan di seputra Lapangan Monas dan Istana Negara juga sangat ketat. Akhirnya, pada tanggal 20 Mei 1998 pukul 05.30 pagi, Amin Rais mengumumkan pembatalan apel dan aksi di Monas tersebut.
Sementara, kekuatan mahasiswa makin menguat dan solit digedung MPR/DPR. Mahasiswa pun memutuskan untuk memusatkan aksi memperingati Hari Kebangkitan Nasional di Halaman gedung MPR/DPR. Aksi pada tanggal 20 Mei 1998 ini dihari oleh barbagai tokoh-tokoh masyarakat. Pada pukul 11.30, Amien Rais datang ke gedung MPR/DPR. Selanjutnya hadir pula tokoh-tokoh masyarakat seperti Deliar Noer, Emil Salim, Erna Witoelar, Albert Hasibuan, Saparinah Sadli, Nursyahbani Katjasungkana, A.M. Fatwa, Adnan Buyung Nasution, Permadi, Matori Abdul Djalil dan Wimar Witoelar. Bahkan, tokoh-tokoh seni Indonesia pun hadir, seperti Dono Warkop, Garin Nugroho dan Neno Warisman.
Aksi ini secara sporadis memunculkan dukungan moral dari seluruh elemen bangsa. Bahkan, sumbangan-sumbangan nasi bungkus dan air minum dari berbagai kalangan kepada mahasiswa yang sedanga berdemo di gedung MPR/DPR pun terus berdatangan. Hal ini merupakan simbol bahwa perjuangan mahasiswa pada saat itu secara moral telah berhasil memunculkan solidaritas di kalangan masyarakat. Di tanggal ini pula (20 Mei 1998), Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Madeleine Albright secara nyata memberikan pernyataannya yang meminta Presiden Soeharto untuk segera mundur. Pernyataan Albright ini disiarkan secara live dalam breaking news CNN pada pukul 22.48 WIB. Ia menyatakan bahwa penguduran diri Presiden Soeharto sudah merupakan jalan yang semestinya untuk memberi jalan bagi transisi demokrasi di Indonesia. Ia menegaskan bahwa kesempatan ini merupakan momentum bagi Presiden Seoharto untuk menorehkan langkah historisnya sebagai negarawan.
Di tanggal ini pula, pada pukul 14.30, sejumlah 14 menteri yang berada di bawah koordinasi Menko Ekuin, Ginandjar Kartasasmita menyatakan penolakannya untuk dicalonkan kembali di dalam Kabinet Reformasi. Mahasiswa secara bersama masih terus melakukan aksinya di gedung MPR/DPR. Sementara pada pukul 16.45, terjadi pertemuan antara perwakilan mahasiswa dengan pimpinan MPR/DPR di lantai 3 gedung lama MPR/DPR. Di dalam pertemuan ini, mahasiswa memberikan batas waktu pengunduran diri Soeharto hingga hari jumat tanggal 22 Mei 1998. Apabila tidak ada kepastian lebih lanjut, maka pada hari Senin tanggal  25 Mei 1998 pimpinan DPR akan mempersiapkan Sidang Istimewa MPR.
Aksi di gedung MPR/DPR mencapai puncaknya pada 21 Mei 1998. Pada pukul 09.06 WIB, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dari posisi Presiden Republik Indonesia. Bertempat di Credential Room, Istana Negara Jakarta, dengan disaksikan oleh Ketua Mahkamah Agung, Soeharto mengakhiri jabatan presidensialnya yang telah diemban selama 32 tahun. Naskah pengunduran diri Soeharto, Mahkamah Agung langsung melantik Wakil Presiden Baharuddin Jusuf Habibie sebagai Presiden Republik Indonesia yang baru. Hal ini sesuai amanat di dalam pasal 30 UUD 1945 yang berbunyi: “Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya”. Momentum turunnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 ini mengakhiri pemerintahan Orde Baru yang telah berjalan selama 32 tahun di Indonesia.



Selasa, 29 Mei 2012

Sejarah Peristiwa G-30 S/PKI


Peristiwa G-30 S/PKI
Latar Belakang Kudeta G-30 S/PKI
Sejak awal tahun 1965, PKI telah mempersiapkan perebutan kekuasaan politik, yang dilaksanakan secara cermat dan akurat. Yang pertama adalah dicanangkannya slogan ofensif revolusioner, yaitu sejumlah pimpinan partai diturunkan kedaerah-daerah untuk menyelenggarakan rapat-rapat umum. Sukses PKI dalam membekukan lawan politiknya yang tangguh merupakan prestasi yang luar biasa pada awal 1965. Ofensive revolusioner semakin ditingkatkan sesudah hari ulang tahun PKI bulan Mei 1965.
Pada sidang pleno IV CC PKI tanggal 11 Mei 1965, D.N.Aidit menyampaikan laporannya yang berjudul Perketat Ofensif Revolusioner di segala bidang. Kepada setiap jajaran organisasi masa PKI untuk mempersiapkan diri dalam rangka merebut kekuasaan politik , karena menurut PKI kondisi social, politik, dan militer di dalam negeri telah kondusif untuk melakukan itu.
Menjelang akhir agustus 1965 pimpinan biro khusus PKI terus menerus mengadakan pertemuan-pertemuan, yang kesimpulannya dilaporkan kepada ketua CC PKI D.N.Aidit. kemudian diputuskan oleh Aidit bahwa gerakan perebutan kekuasaan akan dipimpin langsung oleh D.N Aidit sebagai pemimpin tertinggi gerakan, Sjam Kamaruzzaman ditetapkan sebagai pimpinan pelaksanaan gerakan, Pono ditunjuk sebagai wakil pimpinan gerakan, dan Bono ditetapkan sebagai pimpinan bagian observasi. Selanjutnya kepada Sjam selaku pimpinan pelaksana gerakan diinstrusikan untuk mengadakan persiapan-persiapan terakhir menjelang pelaksanaan gerakan.
Berdasarkan instruksi tersebut, sejak tanggal 6 September 1965 pimpinan Biro Khusus PKI berturut-turut mengadakan rapat-rapat rahasia dengan beberapa orang oknum ABRI yang telah lama dibina yang digelari sebagai perwira progresif revolusioner untuk membicarakan persiapan kudeta. Mulai dari rapat pertama hingga akhirnya pada rapat ketujuh tanggal 22 September 1965 dirumah Sjam, dalam rapat itu ditetapkan penentuan sasaan gerakan bagi tiap-tiap pasukan. Yang akan bergerak menculik atau membunuh para jenderal Angkatan Darat diberi nama pasukan Pasopati. Pasukan territorial dengan tugas utama menduduki objek vital, gedung RRI, dan gedung-gedung telekomunikasi diberi nama pasukan Bimasakti. Pasukan yang bertugas mengkoordinasikan kegiatan di Lubang Buaya diberi nama pasukan Gatotkaca. Rapat ini berakhir pada rapat yang kesepuluh pada tanggal 29 September 1965, kesemuanya dilakukan di rumah Sjam.
Sementara rapat-rapat Biro Khusus berlangsung, surat kabar PKI harian rakyat pada edisi 26 September 1965. Adanya tulisan-tulisan yang merupakan isyarat akan terjadinya suatu peristiwa, tetapi tidak ditanggapi oleh masyarakat. Setelah persiapan-persiapan terakhir menjelang kudeta dibicarakan dalam rapat-rapat rahasia oleh tokoh-tokoh pelaksana utama dibawah pimpinan Sjam, ditetapkan bahwa gerakan akan dimulai pada hari kamis malam tanggal 30 September 1965, gerakan ini dinamakan Gerakan 30 September (G-30 S/PKI atau Gestapu/PKI).
Pemberontakan G-30 S/PKI
Secara fisik militer gerakan dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalion I Resimen Cakrabirawa ( Pasukan Pengawal Presiden ) selaku pimpinan formal seluruh gerakan. Mereka mulai bergerak pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, didahului dengan gerakan penculikan dan pembunuhan terhadap enam perwira tinggi dan seorang pewira pertama  Angkatan Darat. Kesemuanya dibawa kedesa Lubang Buaya. Meraka dianiaya dan akhirnya dibunuh oleh anggota-anggota Pemuda Rakyat, Gerwani, dan lain-lain organisasi. Semua jenazah dimasukkan kedalam sebuah sumur tua lalu ditimbun dengan sampah dan tanah.
Keenam perwira tinggi yang dibunuh tersebut adalah :
1.      Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) Letnan Jenderal Ahmad Yani,
2.      Deputi II Pangad, Mayor Jendral R.Suprapto,
3.      Deputi III Pangad, Mayor Jenderal Harjono Mas Tirtodarmo,
4.      Asisten I Pangad, Mayor Jenderal Siswondo Parman,
5.      Asisten IV Pangad, Brigadier Jenderal Donald Izacus Pandjaitan,
6.      Inspektur Kehakiman /Oditur Jenderal Angkatan Darat, Brigadier Jenderal Soetojo Siswomiharjo.
Jenderal Abdul Haris Nasution, Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/ Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Menko Hankam / Kasab) berhasil meloloskan diri dari penculikan, tetapi putrinya Ade Irma Suryani tewas akibat tembakan penculik. Ajudannya, Letnan Satu Piere Andries Tendean menjadi sasaran penculikan karena sepintas lalu dalam kegelapan wajahnya mirip Jenderal Nasution. Turut tewas Brigadier Polisi Karel Satsuit Tubun, pengawal rumah wakil Perdana Mentri II dr. J.Leimana yang rumahnya dekat dengan rumah Jenderal A.H Nasution.
Pasukan G-30 S/PKI juga menguasai objek vital yaitu studio RRI Pusat Jalan Medan Merdeka Barat, dan Gedung PN Telekomunikasi di jalan Medan Merdeka Selatan.
Penumpasan G 30 S/PKI
Hanya sehari setelah PKI mencetuskan pemberontakannya, penumpasan terhadap mereka pun dimulai. Penumpasan PKI dimulai di Jakarta kemudian Penumpasan di Daerah – daerah.

 Penumpasan PKI di Jakarta
Pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, G 30 S/PKI masih menguasai studio RRI dan Kantor Telekomunikasi. Melalui RRI, Letnan Kolonel Untung mengumumkan dekrit pembentukan  Dewan Revolusi sebagai sumber kekuasaan negara dan mendemisionerkan Kabinet Dwikora.
Upaya PKI untuk merebut pemerintahan RI tersebut segera dihadang oleh kekuatan yang setia kepada Pancasila dan senantiasa waspada terhadap tindakan PKI. Di Jakarta, kekuatan itu berada dibawah Panglima Komando Cadangan Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad), Mayor Jendral Soeharto. Setelah mengetahui bahwa negara dalam keadaan bahaya, Panglima Kostrad bertindak dengan cepat untuk memulihkan kekuasaan pemerintahan di ibu kota.
Tindakan yang pertama diambilnya adalah mengadakan koordinasi. Ia mencoba menghubungi Presiden Soekarno, tetapi tidak berhasil. Koordinasi kemudian dilanjutkan dengan menghubungi Menteri/Panglima Angkatan Laut dan Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian. Menteri/Panglima Angkatan Udara tidak berhasil dihubungi, karena mereka memihak kepada PKI. Setelah melakukan koordinasi, Pangkostrad memutuskan untuk segera mengadakan penumpasan terhadap pemberontak.
Operasi penumpasan G 30 S/PKI dimulai pada sore hari tanggal 1 Oktober 1965. Dalam waktu singkat ABRI yang dipimpin oleh Mayor Jendral Soeharto berhasil menyelamatkan Republik Indonesia dari ancaman komunisme. Hal ini memperlihatkan kepada kita bahwa Pancasila mampu membuktikan diri sebagai kekuatan yang besar dan dijunjung tinggi oleh bangsa indonesia.
Malam harinya, melalui RRI, Mayor Jendral Soeharto menjelaskan kepada rakyat Indonesia tentang adanya perebutan kekuasaan negara oleh kelompok yang menamakan dirinya Gerakan Tiga Puluh September. Ia juga menambahkan bahwa masyarakat diharapkan tenang dan waspada. Pidato itu mematahkan semangat para pemberontak. Setelah keadaan ibu kota dapat dikuasai kembali, penumpasan langsung ditujukan kebasis uatama G 30 S/PKIyang berada disekitar dipangkalan udara Halim Perdanakusuma. Tanpa mengalami kesulitan, pada pagi hari, tanggal 2 Oktober 1965, Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma dapat dikuasai.
Selanjutnya, ABRI mengadakan pencarian terhadap perwira – perwira Angkatan Drat yang diculik oleh PKI ke kampung Lubang Buaya, Jakarta Timur. Pencarian ketempat itu dilakukan atas petunjuk seorang polisi, Ajun Brigadir Polisi Sukitman mengetahui tempat itu karena sebelumnay ia memang ikut tawanan oleh PKI dan dibawa ketempat itu. Akan tetapi, ia berhasil melarikan diri.
Di desa Lubang Buaya itulah jenazah para perwira tinggi angkatan darat itu dikubur dalam sebuah sumur tua yang bergaris tengah kurang dari satu meter dengan kedalaman 12 meter. Luka – luka yang terdapat pada jenazah itu menunjukan bahwa mereka disiksa dengan kejam sebelum dibunuh. Pengangkatan jenazah dilakukan pada tanggal 4 Oktober. Keesokan harinya, bertepatan di Hari Ulang Tahun ABRI tanggal 5 Oktober 1965, para perwira Angkatan Darat itu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Para korban di anugerahi Pahlawan Revolusi dan diberikan kenaikkan pangkat satu tingkat lebih tinggi secara anumerta.
Untuk penumpasan pemberontakan G 30 S/PKI dan pemulihan keamanan akibat pemberontakan itu, pemerintah membentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Mayor Jendral Soeharto ditunjuk sebagai Panglima Kopkamtib. 
 Penumpasan di Daerah – Daerah
Keadaan di Jawa Tengah juga gawat karena ditempati ini PKI juga melakukan pemberontakan dengan kekuatan bersenjata, seperti halnya di Jakarta. Di Semarang, Kolonel Suhirman, Asisten l Kodam VII/Diponegoro, menyatakan dukungannya kepada pemberontak G 30 S/PKI. Pemberontak G 30 S/PKI menguasai Markas Kodam VII/Diponegorodan dijadikan sebagai pusat gerakan. Di Yogyakarta, pemberontak G 30 S/PKI menculik Komandan Korem 072/Pamungkas, Kolonel Katamso, dan Kepala Staf Korem 072, Letnan Kolonel Sugiono. Kedua Perwira itu dibunuh dengan kejam.
Pengumuman RRI Jakata bahwa Jakarta telah dikuasai kembali oleh ABRI menimbulkan dampakyang besar. Untuk menumpas dan membersihkan sisa – sisa G 30 S/PKI secara lebih intensif Mayor Jendral Soeharto mengirim pasukan RPKAD dibawah pipinan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo. Pasukan G 30 S/PKI di Jawa Tengah mulai patah semangat. Akhirnya, pimpian pemberontak di Semarang, Kolonel Suhirman, dan kawan – kawannya melarikan diri keluar kota. Kesatuan yang mendukung PKI dapat diinsyafkan.
Selanjutnya, satu demi satu kota – kota yang tadinya dikuasai oleh pemberontak G 30 S/PKI berhasil direbut kembali. Sejak tanggal 5 Oktober 1965 secara fisik militer keamanan dalam jajaran Kodam VII/Diponegoro telah pulih kembali. Akan tetapi, setelah kekuatan militer PKI dapat dihacurkan, di Jawa Tengah timbul gerakan pengacauan berupa sabotase dan pembunuhan yang dilakukan oleh massa PKI terhadap rakyat. Berkat kerja sama ABRI dan rakyat, keamanan dan ketertiban dapat dijaga.
Sementara itu, pemimpin – pemimpin PKI yang belum tertangkap berusaha mengadakan konsolidasi. Mereka mempersiapkan pemberontakan bersejata dengan dukungan para petani. Untuk melaksanakan rencan itu, secar diam – diam dan rahasia mereka menyusun kompro – kompro (komite proyek) sebagai basis kembalinya PKI. Salah satu kompro yang paling besar adalah Kompro Blitar Selatan. Di sini PKI berhasil mempengaruhi rakyat. Namun, ABRI segera mencium usaha PKI itu. Penumpasan terhadap Kompro Blitar Selatan dilakukan dengan sebuah operasi yang dinamakan  Operasi Trisula sejak tanggal 3 Juli 1968. Operasi itu berhasil membongkar basis pertahanan PKI.
Penumpasan pemberontakan G 30 S/PKI di tempat – tempat lain di Indonesia dilakukan dengan melakukan operasi teritorial. Usaha penangkapan terhadap tokoh – tokoh PKI dilakukan karena umumnya pendukung G 30 S/PKI tidak sempat melakukan gerakan perebutan kekuasaan. Di daerah Jawa Timur dan Bali memang terjadi kekacauan penculikan dan pembunuhan, tetapi dalam waktu singkat keadaan dapat ditertibkan kembali.
Penyelesaian aspek politik mengenai pemberontakan G 30 S/PKI akan ditangani secara langsung oleh Presiden Soekarno. Namun, karena berlarut – larut dan tidak ada ketegasan timbullah aksi – aksi yang menuntut penyelesaian secara politis bagi mereka yang terlibat G 30 S/PKI.
 Pada tanggal 26 Oktober 1965, semua kekuatan yang anti komunis mengkokohkan diri dalam satu barisan, yaitu Front Pancasila. Setelah itu, muncul gelombang demonstrasi yang menuntut agar PKI dibubarkan. Aksi – aksi itu dipelopori oleh kesatuan aksi pemuda, mahasiswa dan pelajar. Dan akhirnya G 30 S/PKI dapat di tumpas dan Indonesia memasuki Orde Baru.