Selasa, 29 Mei 2012

Sejarah Peristiwa G-30 S/PKI


Peristiwa G-30 S/PKI
Latar Belakang Kudeta G-30 S/PKI
Sejak awal tahun 1965, PKI telah mempersiapkan perebutan kekuasaan politik, yang dilaksanakan secara cermat dan akurat. Yang pertama adalah dicanangkannya slogan ofensif revolusioner, yaitu sejumlah pimpinan partai diturunkan kedaerah-daerah untuk menyelenggarakan rapat-rapat umum. Sukses PKI dalam membekukan lawan politiknya yang tangguh merupakan prestasi yang luar biasa pada awal 1965. Ofensive revolusioner semakin ditingkatkan sesudah hari ulang tahun PKI bulan Mei 1965.
Pada sidang pleno IV CC PKI tanggal 11 Mei 1965, D.N.Aidit menyampaikan laporannya yang berjudul Perketat Ofensif Revolusioner di segala bidang. Kepada setiap jajaran organisasi masa PKI untuk mempersiapkan diri dalam rangka merebut kekuasaan politik , karena menurut PKI kondisi social, politik, dan militer di dalam negeri telah kondusif untuk melakukan itu.
Menjelang akhir agustus 1965 pimpinan biro khusus PKI terus menerus mengadakan pertemuan-pertemuan, yang kesimpulannya dilaporkan kepada ketua CC PKI D.N.Aidit. kemudian diputuskan oleh Aidit bahwa gerakan perebutan kekuasaan akan dipimpin langsung oleh D.N Aidit sebagai pemimpin tertinggi gerakan, Sjam Kamaruzzaman ditetapkan sebagai pimpinan pelaksanaan gerakan, Pono ditunjuk sebagai wakil pimpinan gerakan, dan Bono ditetapkan sebagai pimpinan bagian observasi. Selanjutnya kepada Sjam selaku pimpinan pelaksana gerakan diinstrusikan untuk mengadakan persiapan-persiapan terakhir menjelang pelaksanaan gerakan.
Berdasarkan instruksi tersebut, sejak tanggal 6 September 1965 pimpinan Biro Khusus PKI berturut-turut mengadakan rapat-rapat rahasia dengan beberapa orang oknum ABRI yang telah lama dibina yang digelari sebagai perwira progresif revolusioner untuk membicarakan persiapan kudeta. Mulai dari rapat pertama hingga akhirnya pada rapat ketujuh tanggal 22 September 1965 dirumah Sjam, dalam rapat itu ditetapkan penentuan sasaan gerakan bagi tiap-tiap pasukan. Yang akan bergerak menculik atau membunuh para jenderal Angkatan Darat diberi nama pasukan Pasopati. Pasukan territorial dengan tugas utama menduduki objek vital, gedung RRI, dan gedung-gedung telekomunikasi diberi nama pasukan Bimasakti. Pasukan yang bertugas mengkoordinasikan kegiatan di Lubang Buaya diberi nama pasukan Gatotkaca. Rapat ini berakhir pada rapat yang kesepuluh pada tanggal 29 September 1965, kesemuanya dilakukan di rumah Sjam.
Sementara rapat-rapat Biro Khusus berlangsung, surat kabar PKI harian rakyat pada edisi 26 September 1965. Adanya tulisan-tulisan yang merupakan isyarat akan terjadinya suatu peristiwa, tetapi tidak ditanggapi oleh masyarakat. Setelah persiapan-persiapan terakhir menjelang kudeta dibicarakan dalam rapat-rapat rahasia oleh tokoh-tokoh pelaksana utama dibawah pimpinan Sjam, ditetapkan bahwa gerakan akan dimulai pada hari kamis malam tanggal 30 September 1965, gerakan ini dinamakan Gerakan 30 September (G-30 S/PKI atau Gestapu/PKI).
Pemberontakan G-30 S/PKI
Secara fisik militer gerakan dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalion I Resimen Cakrabirawa ( Pasukan Pengawal Presiden ) selaku pimpinan formal seluruh gerakan. Mereka mulai bergerak pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, didahului dengan gerakan penculikan dan pembunuhan terhadap enam perwira tinggi dan seorang pewira pertama  Angkatan Darat. Kesemuanya dibawa kedesa Lubang Buaya. Meraka dianiaya dan akhirnya dibunuh oleh anggota-anggota Pemuda Rakyat, Gerwani, dan lain-lain organisasi. Semua jenazah dimasukkan kedalam sebuah sumur tua lalu ditimbun dengan sampah dan tanah.
Keenam perwira tinggi yang dibunuh tersebut adalah :
1.      Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) Letnan Jenderal Ahmad Yani,
2.      Deputi II Pangad, Mayor Jendral R.Suprapto,
3.      Deputi III Pangad, Mayor Jenderal Harjono Mas Tirtodarmo,
4.      Asisten I Pangad, Mayor Jenderal Siswondo Parman,
5.      Asisten IV Pangad, Brigadier Jenderal Donald Izacus Pandjaitan,
6.      Inspektur Kehakiman /Oditur Jenderal Angkatan Darat, Brigadier Jenderal Soetojo Siswomiharjo.
Jenderal Abdul Haris Nasution, Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/ Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Menko Hankam / Kasab) berhasil meloloskan diri dari penculikan, tetapi putrinya Ade Irma Suryani tewas akibat tembakan penculik. Ajudannya, Letnan Satu Piere Andries Tendean menjadi sasaran penculikan karena sepintas lalu dalam kegelapan wajahnya mirip Jenderal Nasution. Turut tewas Brigadier Polisi Karel Satsuit Tubun, pengawal rumah wakil Perdana Mentri II dr. J.Leimana yang rumahnya dekat dengan rumah Jenderal A.H Nasution.
Pasukan G-30 S/PKI juga menguasai objek vital yaitu studio RRI Pusat Jalan Medan Merdeka Barat, dan Gedung PN Telekomunikasi di jalan Medan Merdeka Selatan.
Penumpasan G 30 S/PKI
Hanya sehari setelah PKI mencetuskan pemberontakannya, penumpasan terhadap mereka pun dimulai. Penumpasan PKI dimulai di Jakarta kemudian Penumpasan di Daerah – daerah.

 Penumpasan PKI di Jakarta
Pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, G 30 S/PKI masih menguasai studio RRI dan Kantor Telekomunikasi. Melalui RRI, Letnan Kolonel Untung mengumumkan dekrit pembentukan  Dewan Revolusi sebagai sumber kekuasaan negara dan mendemisionerkan Kabinet Dwikora.
Upaya PKI untuk merebut pemerintahan RI tersebut segera dihadang oleh kekuatan yang setia kepada Pancasila dan senantiasa waspada terhadap tindakan PKI. Di Jakarta, kekuatan itu berada dibawah Panglima Komando Cadangan Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad), Mayor Jendral Soeharto. Setelah mengetahui bahwa negara dalam keadaan bahaya, Panglima Kostrad bertindak dengan cepat untuk memulihkan kekuasaan pemerintahan di ibu kota.
Tindakan yang pertama diambilnya adalah mengadakan koordinasi. Ia mencoba menghubungi Presiden Soekarno, tetapi tidak berhasil. Koordinasi kemudian dilanjutkan dengan menghubungi Menteri/Panglima Angkatan Laut dan Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian. Menteri/Panglima Angkatan Udara tidak berhasil dihubungi, karena mereka memihak kepada PKI. Setelah melakukan koordinasi, Pangkostrad memutuskan untuk segera mengadakan penumpasan terhadap pemberontak.
Operasi penumpasan G 30 S/PKI dimulai pada sore hari tanggal 1 Oktober 1965. Dalam waktu singkat ABRI yang dipimpin oleh Mayor Jendral Soeharto berhasil menyelamatkan Republik Indonesia dari ancaman komunisme. Hal ini memperlihatkan kepada kita bahwa Pancasila mampu membuktikan diri sebagai kekuatan yang besar dan dijunjung tinggi oleh bangsa indonesia.
Malam harinya, melalui RRI, Mayor Jendral Soeharto menjelaskan kepada rakyat Indonesia tentang adanya perebutan kekuasaan negara oleh kelompok yang menamakan dirinya Gerakan Tiga Puluh September. Ia juga menambahkan bahwa masyarakat diharapkan tenang dan waspada. Pidato itu mematahkan semangat para pemberontak. Setelah keadaan ibu kota dapat dikuasai kembali, penumpasan langsung ditujukan kebasis uatama G 30 S/PKIyang berada disekitar dipangkalan udara Halim Perdanakusuma. Tanpa mengalami kesulitan, pada pagi hari, tanggal 2 Oktober 1965, Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma dapat dikuasai.
Selanjutnya, ABRI mengadakan pencarian terhadap perwira – perwira Angkatan Drat yang diculik oleh PKI ke kampung Lubang Buaya, Jakarta Timur. Pencarian ketempat itu dilakukan atas petunjuk seorang polisi, Ajun Brigadir Polisi Sukitman mengetahui tempat itu karena sebelumnay ia memang ikut tawanan oleh PKI dan dibawa ketempat itu. Akan tetapi, ia berhasil melarikan diri.
Di desa Lubang Buaya itulah jenazah para perwira tinggi angkatan darat itu dikubur dalam sebuah sumur tua yang bergaris tengah kurang dari satu meter dengan kedalaman 12 meter. Luka – luka yang terdapat pada jenazah itu menunjukan bahwa mereka disiksa dengan kejam sebelum dibunuh. Pengangkatan jenazah dilakukan pada tanggal 4 Oktober. Keesokan harinya, bertepatan di Hari Ulang Tahun ABRI tanggal 5 Oktober 1965, para perwira Angkatan Darat itu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Para korban di anugerahi Pahlawan Revolusi dan diberikan kenaikkan pangkat satu tingkat lebih tinggi secara anumerta.
Untuk penumpasan pemberontakan G 30 S/PKI dan pemulihan keamanan akibat pemberontakan itu, pemerintah membentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Mayor Jendral Soeharto ditunjuk sebagai Panglima Kopkamtib. 
 Penumpasan di Daerah – Daerah
Keadaan di Jawa Tengah juga gawat karena ditempati ini PKI juga melakukan pemberontakan dengan kekuatan bersenjata, seperti halnya di Jakarta. Di Semarang, Kolonel Suhirman, Asisten l Kodam VII/Diponegoro, menyatakan dukungannya kepada pemberontak G 30 S/PKI. Pemberontak G 30 S/PKI menguasai Markas Kodam VII/Diponegorodan dijadikan sebagai pusat gerakan. Di Yogyakarta, pemberontak G 30 S/PKI menculik Komandan Korem 072/Pamungkas, Kolonel Katamso, dan Kepala Staf Korem 072, Letnan Kolonel Sugiono. Kedua Perwira itu dibunuh dengan kejam.
Pengumuman RRI Jakata bahwa Jakarta telah dikuasai kembali oleh ABRI menimbulkan dampakyang besar. Untuk menumpas dan membersihkan sisa – sisa G 30 S/PKI secara lebih intensif Mayor Jendral Soeharto mengirim pasukan RPKAD dibawah pipinan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo. Pasukan G 30 S/PKI di Jawa Tengah mulai patah semangat. Akhirnya, pimpian pemberontak di Semarang, Kolonel Suhirman, dan kawan – kawannya melarikan diri keluar kota. Kesatuan yang mendukung PKI dapat diinsyafkan.
Selanjutnya, satu demi satu kota – kota yang tadinya dikuasai oleh pemberontak G 30 S/PKI berhasil direbut kembali. Sejak tanggal 5 Oktober 1965 secara fisik militer keamanan dalam jajaran Kodam VII/Diponegoro telah pulih kembali. Akan tetapi, setelah kekuatan militer PKI dapat dihacurkan, di Jawa Tengah timbul gerakan pengacauan berupa sabotase dan pembunuhan yang dilakukan oleh massa PKI terhadap rakyat. Berkat kerja sama ABRI dan rakyat, keamanan dan ketertiban dapat dijaga.
Sementara itu, pemimpin – pemimpin PKI yang belum tertangkap berusaha mengadakan konsolidasi. Mereka mempersiapkan pemberontakan bersejata dengan dukungan para petani. Untuk melaksanakan rencan itu, secar diam – diam dan rahasia mereka menyusun kompro – kompro (komite proyek) sebagai basis kembalinya PKI. Salah satu kompro yang paling besar adalah Kompro Blitar Selatan. Di sini PKI berhasil mempengaruhi rakyat. Namun, ABRI segera mencium usaha PKI itu. Penumpasan terhadap Kompro Blitar Selatan dilakukan dengan sebuah operasi yang dinamakan  Operasi Trisula sejak tanggal 3 Juli 1968. Operasi itu berhasil membongkar basis pertahanan PKI.
Penumpasan pemberontakan G 30 S/PKI di tempat – tempat lain di Indonesia dilakukan dengan melakukan operasi teritorial. Usaha penangkapan terhadap tokoh – tokoh PKI dilakukan karena umumnya pendukung G 30 S/PKI tidak sempat melakukan gerakan perebutan kekuasaan. Di daerah Jawa Timur dan Bali memang terjadi kekacauan penculikan dan pembunuhan, tetapi dalam waktu singkat keadaan dapat ditertibkan kembali.
Penyelesaian aspek politik mengenai pemberontakan G 30 S/PKI akan ditangani secara langsung oleh Presiden Soekarno. Namun, karena berlarut – larut dan tidak ada ketegasan timbullah aksi – aksi yang menuntut penyelesaian secara politis bagi mereka yang terlibat G 30 S/PKI.
 Pada tanggal 26 Oktober 1965, semua kekuatan yang anti komunis mengkokohkan diri dalam satu barisan, yaitu Front Pancasila. Setelah itu, muncul gelombang demonstrasi yang menuntut agar PKI dibubarkan. Aksi – aksi itu dipelopori oleh kesatuan aksi pemuda, mahasiswa dan pelajar. Dan akhirnya G 30 S/PKI dapat di tumpas dan Indonesia memasuki Orde Baru. 

Tidak ada komentar: